Wednesday 22 February 2017

Makalah Model Implementasi Kebijakan Publik


MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Analisis Kebijakan Publik
Dosen Pengampu : Bpk Musaqim



Disusun oleh :
Maesaroh                       (1403036016)




FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015

I.                   PENDAHULUAN
Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi. Pendekatan dalam implementasi kebijakan publik oleh Peter deLeon dan Linda deLeon (2001) dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Mempergunakan pendekatan ini, antara lain: Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba (1971, 1979). Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan studi pengambilan keputusan di sektor publik.
Generasi kedua, tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer perspective). Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), dan Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-upper yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern (1982, 1983).
Generasi ketiga, tahun 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksana implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi atau situsional dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang mengembangkan yang mengembangkan pendekatan ini adalah antara lain Richard Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Saja Model Dalam Implementasi Kebijakan Publik?
B.     Bagaimana Konflik Konflik Kecenderungan?
C.     Apa Saja Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Publik?


III.             PEMBAHASAN

A.    Model-Model Implementasi Kebijakan Publik


1.      Model Van Meter dan Van Horn
Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:
a.       Ukuran dan tujuan kebijakan
b.      Sumber daya
c.       Karakteristik agen pelaksana
d.      Sikap atau kecenderungan pelaksana
e.       Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana
f.       Lingkungan ekonomi, sosial, politik

2.       Model Mazmanian dan Sabatier
Model yang kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut Model Kerangka Analisis Implementasi (a framework for implementation analysis). Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:
a.       Variabel Independen
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki
b.       Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publi, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
c.       Variabel Dependen
Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri dari: pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga, hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir, kelima, tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar

3.      Model Hogwood dan Gunn
Model ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah:
a.       Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius. Beberapa kendala/hambatan (constraints) pada saat implementasi kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dari badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik maupun politis.
b.      Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama diatas, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu tinggi
c.       Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti syarat item kedua artinya disatu pihak harus dijamin tidak ada kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap tahapan proses implementasi perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus dapat disediakan. Dalam prakteknya implementasi program yang memerlukan perpaduan antara dana, tenaga kerja dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan program harus dapat disiapkan secara serentak, namun ternyata ada salah satu komponen tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaannya sehingga berakibat program tersebut tertunda pelaksanaannya.
d.      Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplemetasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi kebijakan itu sendiri memang jelek. Penyebabnya karena kebijakan itu didasari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadahi mengenahi persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahanya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut.
e.       Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada kebanyakan program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih komplek dari pada sekedar hubungan antara dua variabel yang memiliki hubungan kausalitas. Kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan sebab-akibat tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin kompleks implementasinya. Dengan kata lain semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
f.       Hubungan saling ketergantungan harus kecil. Implemetasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal dalam melaksanakan misi tidak tergantung badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan rangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah aktor/pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.
g.      Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai dan dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu harus dirumuskan dengan jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan, dan disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi. Namun berbagai penelitian telah mengungkap bahwa dalam prakteknya tujuan yang akan dicapai dari program sukar diidentifikasikan. Kemungkinan menimbulkan konflik yang tajam atau kebingungan, khususnya oleh kelompok profesional atau kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam program lebih mementingkan tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan resmi kerap kali tidak dipahami dengan baik, mungkin karena komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat awal tujuan dipahami dan disepakati namun tidak ada jaminan kondisi ini dapat terpelihara selama pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan itu cenderung mudah berubah, diperluas dan diselewengkan.
h.      Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan program menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam urutan-uruan yangbtepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap bagian yang terlibat. Kesulitan untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Untuk mengendalikan program dengan baik dapat dilakukan dengan teknologi seperti Network planning dan contrrol.
i.        Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan ordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Pada kebanyakan organiasi yang memiliki ciri-ciri departemenisasi, profesionalisasi, dan bermacam kegiatan kelompok yang melindungi nilai-nilai dan kepentingan kelompok hampir tidak ada koordinasi yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses implementasi karena data, syaran dan perintah-perintah dapat dimengerti sesuai dengan apa yang dikehendaki.
j.        Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa harus ada ketundukan yang penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya. Persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus juga yang memiliki kekuasan dan mampu menjamin adanya kepatuhan sikap secara menyeluruh dari pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun luar organisasi. Dalam kenyataan dimungkinkan adanya kompartemenisasi dan diantara badan yang satu dengan yang lain mungkin terdapat konflik kepentingan.


4.      Model Goggin
Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “communication model” untuk implementasi kebijakan yang disebutnya sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan” (1990). Goggin dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian dengan adanya variabel independen, intervening, dan dependen, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan.

5.      Model Grindle
Model ini adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya). Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
a.       Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).
b.      Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
c.       Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
d.      Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
e.       Para pelaksana program (program implementators).
f.       Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:
a.       Kekuasaan (power).
b.      Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).
c.       Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics).
d.      Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).

6.      Model Elmore, dkk
Model ini adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981). Model ini dimulai dari mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).

7.      Model Edward
George Edward III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective implementation the decission of policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes, dan beureucratic structures.
a.       Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.
b.      Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara efektif.
c.       Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.
d.      Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak terjadi beureucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.[1]

B.     Konflik konflik kecendurungan
Dimensi lain yang di kemukakan oleh Van Meter dan VanHorn setelah kapabilitas adalah konflik konflik kecendurungan. Konflik konflik kecendurungan terjadi karena pejabat pejabat bahawan (para pelaksana) menolak tujuan tujuan dari pejabat atasan mereka. Tujuan tujuan dan sasaran mungkin di tolak dengan beberapa alasan seperti ; melanggar melanggar nilai nilai pribadi atau pelksana atau kesetiaan ekstra organisasi, tujuan tujuan itu melanggar sarsaran mkna diri para pelaksana, atau mengubah sifat sifat organisasi dan prosedur prosedurnya yang ingin di pertahankan oleh para pelaksana.
Perhatian utama menitik beratkan kecenderungan kecenderungan dari pelaksana, perhatian menyangkut konflik kecenderungan juga dapat di arahkan kepada empat komonen lain dari model yang secara langsung memengaruhi faktor ini, yakni sumber sumber kebijakan, komunikasi antar organisasi dan kegiatan kegiatan pelaksanaan, karakteristik karakteristik dari bahan pelaksana dan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik dari organisasi atau yurisdiksi pelaksana. Hal ini berarti bahwa konflik kecenderungan yang mungkin terjadi meliputi semua variabel model implementasi kebijakan. Penelitian menyangkut konflik kecenderungan di kemukakan oleh alisson dan lasin.
Graham T,Alisson menyatakan bahwa antara konflik presiden john F. Kenedy dan angkatan laut mengenai lokasi blokade kuba selama krisis rudal tahun 1962 menghasilkan implementasi kebijakan prsiden yang tidak berhasil. Perlawanan angkatan laut pada perintah presiden bahwa blokade di tarik lebih mendekati kuba memaksa presiden membiarkan satu atau beberapa kapal Uni Soviet melewati blokade setelah secara resmi dinyatakan berjalan. Sedangkan Lasin yang menghadapi pelaksanaan pengaturan hak hak sipil dalam perumahan publik juga mengungkapkan bahwa tingkah laku dari bahan bahan pelaksana dan administrator daerah merupakan faktor faktor pokok yang menetukan ketaatan.[2]
C.     Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Publik
Bagian sebelum ini kita telah membincangkan model model kebijakan publik yang telah diintrodusir oleh beberapa pakar kebijakan, setelah itu di bagian ini kita akan membahas faktor faktor yang penentu implementasi kebijakan publik, antara lain :
1.      Respek anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemeriintah
Kodrat manusia jika menunjuk pada filsafat poliitik john locke di katakan memiliki state nature yang positif. Ini artinya manusia dapat menerima dengan baik hubungan relasional antar individu. Ketika relasi ini berjalan dengan baik maka logikanya seluruh warganya akan saling menghormati, memberikan respek yang tinggi pada otoritas, memberikan respek yang tiggi pada ilmu pengetahuan, menghormti UU yang di buat pemerintah, mematuhi aturan hukum, dll.
2.      Kesadaran untuk menerima kebijakan
Dalam masyarakat yang di gerakan oleh logika rasional choice, banyak di jumapi individu atau kelompok warga yang mw nerima dan melaksanakan kebijakan publik sebagai sesuatu yang logis, rasional serta dirasa perlu, tetapi juga ada beberapa yang tidak mw menerima kebijakan publik tersebut, apalagi di tenah perekonomian yang makin melemah. Tetapi jika individu maupun kelompok itu percaya maka akan sdar bahwa bahwa kebijakan publik.
3.      Ada atau tidaknya sanksi hukum
Faktor penentu lainnya adalah sanksi hukum, orang akan melaksanakan dan menjalankan sesuatu kebijakan karena mereka takut terkena dampak ataupun sanksi hukum.
4.      Koordinasi antar lembaga dan organisasi
Implementasi kebijakan tidak jarang melibatkan banyak pemangku kebijakan, oleh karena itu koordinasi merupakan mantra penting dalam menilai keefektifan suatu implementasi kebijakan. Terkadang suatu kebijakan di anggap baik dalam segi konten tapi lemah dalam segi pelaksanaan. Realita ini sangat mungkin terjadi karena koordinasi antar lembaga atau antar koordinasi yang seharusnya menjalankan atau megawasi justru tidak melaksanakan koordinasi tersebut, padahal apabila koordinasi tersebut dilaksanakan bukan tidk mungkin suatu permasalahn publik dapat di selesaikan segera.[3]

IV.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Model yang kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu. Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “communication model” untuk implementasi kebijakan yang disebutnya sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan” (1990). Goggin dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian dengan adanya variabel independen, intervening, dan dependen, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. Model ini adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya).
B.     Kritik Saran
Sekian makalah dari kami apabila ada kata kata yang salah kami mohon maaf karena sebagai manusia biasa kami tak luput dari kesalahan terima kasih.






















DAFTRA PUSTAKA

Agustino, Leo, Dasar dasar kebijakan publik, Bandung : Alfabet, 2007.
Winarno, Budi, Kebijakan Publik (Teori, proses, dan study kasus), Yogyakarta : CAPS, 2013
Islamy, Irfan, Kebijakan Publik, Tanggerang Selatan : Universitas Terbuka, 2014.









[1] Muh. Irfan Islamy, Kebijakan Publik, (Tanggerang Selatan : Universitas Terbuka, 2014), 7.2-7.14
[2] Prof, Drs Budi Winarno, Kebijakan Publik (Teori, proses, dan study kasus), ( Yogyakarta : CAPS, 2013), hlm 175-176
[3] Leo Agustino, PHD, Dasar dasar kebijakan publik, (Bandung : Alfabet, 2007), hlm 155-162

No comments:

Post a Comment