MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
Makalah
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Analisis
Kebijakan Publik
Dosen Pengampu :
Bpk Musaqim
Disusun oleh :
Maesaroh (1403036016)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini
masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain
itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi. Pendekatan dalam
implementasi kebijakan publik oleh Peter deLeon dan Linda deLeon (2001)
dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu pada tahun
1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi
antara kebijakan dan eksekusinya. Mempergunakan pendekatan ini, antara lain:
Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba (1971, 1979). Pada generasi ini
implementasi kebijakan berhimpitan studi pengambilan keputusan di sektor
publik.
Generasi kedua, tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan
pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah”
(top-downer perspective). Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk
melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan
sosial yang mengembangkan pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul
Sabatier (1983), dan Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan
bottom-upper yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny
Hjern (1982, 1983).
Generasi ketiga, tahun 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial
Malcolm L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku
aktor pelaksana implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan. Pada saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi atau
situsional dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi
kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut.
Para ilmuwan yang mengembangkan yang mengembangkan pendekatan ini adalah antara
lain Richard Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Saja Model Dalam
Implementasi Kebijakan Publik?
B.
Bagaimana Konflik Konflik
Kecenderungan?
C.
Apa Saja Faktor Penentu
Implementasi Kebijakan Publik?
III.
PEMBAHASAN
A.
Model-Model Implementasi
Kebijakan Publik
1.
Model Van Meter dan Van Horn
Model
pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh
Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik, implementator,
dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai
variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:
a.
Ukuran dan tujuan kebijakan
b.
Sumber daya
c.
Karakteristik agen pelaksana
d.
Sikap atau kecenderungan
pelaksana
e.
Komunikasi antar organisasi
dan aktivitas pelaksana
f.
Lingkungan ekonomi, sosial,
politik
2.
Model Mazmanian dan Sabatier
Model
yang kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
(1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan
kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut Model Kerangka Analisis
Implementasi (a framework for implementation analysis). Mazmanian-Sabatier
mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:
a.
Variabel Independen
Mudah-tidaknya
masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis
pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki
b.
Variabel Intervening
Diartikan
sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan
indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal,
ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga
pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat
pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar
kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator
kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publi, sikap dan risorsis
konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas
kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
c.
Variabel Dependen
Yaitu
tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang
terdiri dari: pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk
disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga, hasil nyata.
Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir, kelima, tahapan yang mengarah
pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun
keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar
3.
Model Hogwood dan Gunn
Model
ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa
persayaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah:
a.
Kondisi eksternal yang
dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala
yang serius. Beberapa kendala/hambatan (constraints) pada saat implementasi
kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan
itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dari badan pelaksana.
Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik maupun politis.
b.
Untuk pelaksanaan program
tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat kedua ini sebagian
tumpang tindih dengan syarat pertama diatas, dalam pengertian bahwa kerapkali
ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang
memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil
mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang pendek
dengan harapan yang terlalu tinggi
c.
Perpaduan sumber-sumber yang
diperlukan benar-benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti syarat item kedua
artinya disatu pihak harus dijamin tidak ada kendala-kendala pada semua
sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap tahapan proses
implementasi perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus dapat disediakan.
Dalam prakteknya implementasi program yang memerlukan perpaduan antara dana,
tenaga kerja dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan program harus
dapat disiapkan secara serentak, namun ternyata ada salah satu komponen
tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaannya sehingga berakibat program
tersebut tertunda pelaksanaannya.
d.
Kebijakan yang akan
diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Kebijakan
kadangkala tidak dapat diimplemetasikan secara efektif bukan lantaran ia telah
diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi kebijakan itu sendiri memang
jelek. Penyebabnya karena kebijakan itu didasari oleh tingkat pemahaman yang
tidak memadahi mengenahi persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab
timbulnya masalah dan cara pemecahanya, atau peluang-peluang yang tersedia
untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk
memanfaatkan peluang-peluang tersebut.
e.
Hubungan kausalitas bersifat
langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada kebanyakan program
pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih komplek dari
pada sekedar hubungan antara dua variabel yang memiliki hubungan kausalitas.
Kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan sebab-akibat tergantung pada mata
rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab
semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik
diantara mata rantai penghubungnya dan semakin kompleks implementasinya. Dengan
kata lain semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko
bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat
dilaksanakan dengan baik.
f.
Hubungan saling
ketergantungan harus kecil. Implemetasi yang sempurna menuntut adanya
persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal dalam melaksanakan
misi tidak tergantung badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada
ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang
minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika
implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan rangkaian tahapan
dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen
terhadap setiap tahapan diantara sejumlah aktor/pelaku yang terlibat, maka
peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang
diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.
g.
Pemahaman yang mendalam dan
kesepakatan terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang
menyeluruh mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai dan
dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu harus dirumuskan dengan
jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan, dan disepakati oleh
seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi. Namun berbagai penelitian telah
mengungkap bahwa dalam prakteknya tujuan yang akan dicapai dari program sukar
diidentifikasikan. Kemungkinan menimbulkan konflik yang tajam atau kebingungan,
khususnya oleh kelompok profesional atau kelompok-kelompok lain yang terlibat
dalam program lebih mementingkan tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan resmi
kerap kali tidak dipahami dengan baik, mungkin karena komunikasi dari atas ke
bawah atau sebaliknya tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat awal
tujuan dipahami dan disepakati namun tidak ada jaminan kondisi ini dapat
terpelihara selama pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan itu cenderung
mudah berubah, diperluas dan diselewengkan.
h.
Tugas-tugas diperinci dan
ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna bahwa dalam
menjalankan program menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati,
masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam urutan-uruan yangbtepat
seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap bagian yang terlibat.
Kesulitan untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna masih terjadi dan
tidak dapat dihindarkan. Untuk mengendalikan program dengan baik dapat
dilakukan dengan teknologi seperti Network planning dan contrrol.
i.
Komunikasi dan koordinasi
yang sempurna. Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan ordinasi yang
sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood
(1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang
sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal sehingga tercipta
koordinasi yang baik. Pada kebanyakan organiasi yang memiliki ciri-ciri
departemenisasi, profesionalisasi, dan bermacam kegiatan kelompok yang
melindungi nilai-nilai dan kepentingan kelompok hampir tidak ada koordinasi
yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi memiliki peran yang sangat penting
dalam proses implementasi karena data, syaran dan perintah-perintah dapat
dimengerti sesuai dengan apa yang dikehendaki.
j.
Pihak-pihak yang memiliki
wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Hal
ini menjelaskan bahwa harus ada ketundukan yang penuh dan tidak ada penolakan
sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya. Persyaratan ini
menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus juga yang memiliki
kekuasan dan mampu menjamin adanya kepatuhan sikap secara menyeluruh dari
pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun luar organisasi. Dalam kenyataan
dimungkinkan adanya kompartemenisasi dan diantara badan yang satu dengan yang
lain mungkin terdapat konflik kepentingan.
4.
Model Goggin
Malcolm Goggin, Ann Bowman,
dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “communication
model” untuk implementasi kebijakan yang disebutnya sebagai “generasi ketiga
model implementasi kebijakan” (1990). Goggin dan kawan-kawan bertujuan
mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan
mengedepankan pendekatan metode penelitian dengan adanya variabel independen,
intervening, dan dependen, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam
implementasi kebijakan.
5.
Model Grindle
Model
ini adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan Publik
yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses
implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada
kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi
oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks
implementasinya). Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
a.
Kepentingan yang terpenuhi
oleh kebijakan (interest affected).
b.
Jenis manfaat yang dihasilkan
(tipe of benefit).
c.
Derajat perubahan yang
diinginkan (extent of change envisioned).
d.
Kedudukan pembuat kebijakan
(site of decision making).
e.
Para pelaksana program
(program implementators).
f.
Sumber daya yang dikerahkan
(Resources commited).
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:
a.
Kekuasaan (power).
b.
Kepentingan strategi aktor
yang terlibat (interest strategies of actors involved).
c.
Karakteristik lembaga dan
penguasa (institution and regime characteristics).
d.
Kepatuhan dan daya tanggap
pelaksana (compliance and responsiveness).
6.
Model Elmore, dkk
Model ini adalah model yang
disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern dan David
O’Porter (1981). Model ini dimulai dari mengidentifikasikan jaringan aktor yang
terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi,
aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini
didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk
mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat
pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang
dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau
kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi
pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
7.
Model Edward
George
Edward III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah
lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective implementation
the decission of policymakers will not be carried out successfully. Edward
menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan
menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes, dan
beureucratic structures.
a.
Komunikasi berkenaan dengan
bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik,
ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari
pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.
b.
Resources berkenaan dengan
ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini
berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan
secara efektif.
c.
Disposition berkenaan dengan
kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan publik tersebut,
kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk
melaksanakan kebijakan.
d.
Struktur birokrasi berkenaan
dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi
kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak terjadi beureucratic
fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh
dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan
karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara
dan/ atau pemerintahan.[1]
B.
Konflik konflik kecendurungan
Dimensi
lain yang di kemukakan oleh Van Meter dan VanHorn setelah kapabilitas adalah
konflik konflik kecendurungan. Konflik konflik kecendurungan terjadi karena
pejabat pejabat bahawan (para pelaksana) menolak tujuan tujuan dari pejabat
atasan mereka. Tujuan tujuan dan sasaran mungkin di tolak dengan beberapa
alasan seperti ; melanggar melanggar nilai nilai pribadi atau pelksana atau
kesetiaan ekstra organisasi, tujuan tujuan itu melanggar sarsaran mkna diri
para pelaksana, atau mengubah sifat sifat organisasi dan prosedur prosedurnya
yang ingin di pertahankan oleh para pelaksana.
Perhatian
utama menitik beratkan kecenderungan kecenderungan dari pelaksana, perhatian
menyangkut konflik kecenderungan juga dapat di arahkan kepada empat komonen
lain dari model yang secara langsung memengaruhi faktor ini, yakni sumber
sumber kebijakan, komunikasi antar organisasi dan kegiatan kegiatan
pelaksanaan, karakteristik karakteristik dari bahan pelaksana dan lingkungan
ekonomi, sosial, dan politik dari organisasi atau yurisdiksi pelaksana. Hal ini
berarti bahwa konflik kecenderungan yang mungkin terjadi meliputi semua
variabel model implementasi kebijakan. Penelitian menyangkut konflik
kecenderungan di kemukakan oleh alisson dan lasin.
Graham
T,Alisson menyatakan bahwa antara konflik presiden john F. Kenedy dan angkatan
laut mengenai lokasi blokade kuba selama krisis rudal tahun 1962 menghasilkan
implementasi kebijakan prsiden yang tidak berhasil. Perlawanan angkatan laut
pada perintah presiden bahwa blokade di tarik lebih mendekati kuba memaksa
presiden membiarkan satu atau beberapa kapal Uni Soviet melewati blokade
setelah secara resmi dinyatakan berjalan. Sedangkan Lasin yang menghadapi
pelaksanaan pengaturan hak hak sipil dalam perumahan publik juga mengungkapkan
bahwa tingkah laku dari bahan bahan pelaksana dan administrator daerah
merupakan faktor faktor pokok yang menetukan ketaatan.[2]
C.
Faktor Penentu Implementasi
Kebijakan Publik
Bagian
sebelum ini kita telah membincangkan model model kebijakan publik yang telah
diintrodusir oleh beberapa pakar kebijakan, setelah itu di bagian ini kita akan
membahas faktor faktor yang penentu implementasi kebijakan publik, antara lain
:
1.
Respek anggota masyarakat
pada otoritas dan keputusan pemeriintah
Kodrat
manusia jika menunjuk pada filsafat poliitik john locke di katakan memiliki
state nature yang positif. Ini artinya manusia dapat menerima dengan baik
hubungan relasional antar individu. Ketika relasi ini berjalan dengan baik maka
logikanya seluruh warganya akan saling menghormati, memberikan respek yang
tinggi pada otoritas, memberikan respek yang tiggi pada ilmu pengetahuan,
menghormti UU yang di buat pemerintah, mematuhi aturan hukum, dll.
2.
Kesadaran untuk menerima
kebijakan
Dalam
masyarakat yang di gerakan oleh logika rasional choice, banyak di jumapi
individu atau kelompok warga yang mw nerima dan melaksanakan kebijakan publik
sebagai sesuatu yang logis, rasional serta dirasa perlu, tetapi juga ada
beberapa yang tidak mw menerima kebijakan publik tersebut, apalagi di tenah
perekonomian yang makin melemah. Tetapi jika individu maupun kelompok itu
percaya maka akan sdar bahwa bahwa kebijakan publik.
3.
Ada atau tidaknya sanksi hukum
Faktor
penentu lainnya adalah sanksi hukum, orang akan melaksanakan dan menjalankan
sesuatu kebijakan karena mereka takut terkena dampak ataupun sanksi hukum.
4.
Koordinasi antar lembaga dan
organisasi
Implementasi
kebijakan tidak jarang melibatkan banyak pemangku kebijakan, oleh karena itu
koordinasi merupakan mantra penting dalam menilai keefektifan suatu
implementasi kebijakan. Terkadang suatu kebijakan di anggap baik dalam segi
konten tapi lemah dalam segi pelaksanaan. Realita ini sangat mungkin terjadi karena
koordinasi antar lembaga atau antar koordinasi yang seharusnya menjalankan atau
megawasi justru tidak melaksanakan koordinasi tersebut, padahal apabila
koordinasi tersebut dilaksanakan bukan tidk mungkin suatu permasalahn publik
dapat di selesaikan segera.[3]
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang
diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini
mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan
publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Model yang kedua adalah
model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) yang
mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model
ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa
persayaratan tertentu. Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester
mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “communication model” untuk implementasi
kebijakan yang disebutnya sebagai “generasi ketiga model implementasi
kebijakan” (1990). Goggin dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model
implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode
penelitian dengan adanya variabel independen, intervening, dan dependen, dan
meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. Model ini
adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan Publik
yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses
implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada
kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi
oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks
implementasinya).
B.
Kritik Saran
Sekian makalah dari kami apabila ada kata kata yang salah kami
mohon maaf karena sebagai manusia biasa kami tak luput dari kesalahan terima
kasih.
DAFTRA
PUSTAKA
Agustino, Leo, Dasar
dasar kebijakan publik, Bandung : Alfabet, 2007.
Winarno, Budi, Kebijakan
Publik (Teori, proses, dan study kasus), Yogyakarta : CAPS, 2013
Islamy, Irfan, Kebijakan
Publik, Tanggerang Selatan : Universitas Terbuka, 2014.
[1] Muh.
Irfan Islamy, Kebijakan Publik, (Tanggerang Selatan : Universitas Terbuka,
2014), 7.2-7.14
[2] Prof,
Drs Budi Winarno, Kebijakan Publik (Teori, proses, dan study kasus), (
Yogyakarta : CAPS, 2013), hlm 175-176
[3] Leo
Agustino, PHD, Dasar dasar kebijakan publik, (Bandung : Alfabet, 2007), hlm 155-162
No comments:
Post a Comment