Tuesday 21 February 2017

Mencabut Bahaya Isis


MENCABUT BAHAYA ISIS


Gejala perlawanan terhadap ISIS menjadi egenda dunia. Hampir seluruh pelosok negeri mempunyai agenda untuk menghilangkan gerakan sparatis—yang ingin mendirikan negara Islam. Terjadinya gelombang perlawanan ISIS ini dilakukanoleh mahasiswa di Air Mancur Jalan Pahlawan (Rakyat Jateng/24/3/2015).Bahkan Kepala Staf Angkatan Darat Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa ISIS merupakan musuh bersama (Rakyat Jateng/24/3/2015). Jaringan ISIS juga perlu dibersihkan hingga tingkat wilayah (RT/RW).

Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak sepaham dengan upaya merubah model negeri dari negara lintas agama menjadi mono agama. Bahwa negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah dianggap harga mati. Memang tidak mudah untuk mempertahankan NKRI ini. Segala upaya “pihak luar” untuk memecah belah bangsa patut kita cermati.

Jangan sampai persatuan dan kesatuan bangsa ini ternodai oleh ulang sekelompok orang dengan mengatasnamakan agama. Apalagi Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sudah sepantasnya menjadi teladan bagi agama lainnya. Umat Islam hendaknya mencontoh kepribadian Rasulullah Muhammad dalam mengawal misi agama. Dimana Rasulullah mengenalkan dua model strategi pemantapan Islam di masanya.

Pertama, Rasulullah membangun pola Islamic state (darul Islam, negara Islam). Pola yang dipergunakan bukan dengan cara kekerasan dengan berperang melawan ideologi agama lain. Namun negara Islam yang didirikan saat itu mampu berdampingan dengan agama-agama lainnya. Artinya bahwa sikap pluralis yang dimiliki oleh Rasul dan para sahabatnya sangat nampak sekali.

Kedua, Rasulullah membangun pola nation state (darus salam, negara damai). Bahwa Islam disebut sebagai dasar utama dalam bernegara—tetapi prinsip kedamaian  menjadi ruh utama berjalannya roda kepemerintahan. Ini yang seringkali disalahpahami oleh sebagian besar Islam radikal. Bahwa Rasulullah memberikan teladan yang sangat indah soal harmoni sosial dan solidaritas kebangsaan.

Kebesaran hati Rasul saat menjadi pemimpin di Madinah juga dinyatakan dalam sebuah Piagam Madinah (al Watsaiq al Udzma). Dalam piagam politik itu dinyatakan pertama kali dengan kalimat: Innahum ummatun muttahidah, sesungguhnya kalian (masyarakat Madinah) adalah bangsa yang bersatu padu. Rasul sadar bahwa di Madinah sebelum Islam hadir sudah dihuni oleh masyarakat yang beragama Yahudi dan Nasrani—maka ketika Islam hadir harus mampu merangkul keduanya.

Sejarah panjang inilah yang perlu kita pegang bersama. Sehingga jangan sampai nama besar Islam hancur karena ambisi kelompok tertentu yang ingin mendirikan negara atas nama Islam—namun sangat tidak Islami. Islam bukan agama yang pro terhadap kekerasan. Bahkan Islam bukan struktur ideologi negara, tetapi Islam menjadi doktrin agama yang mendasari berjalannya sistem negara. Kalau ini dipahami, maka ruh Islam akan mampu mewarnai di seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yang sangat dikhawatirkan adalah, ketika kelompok pro ISIS ini selalu membawa-bawa nama Islam, maka klaim Islam sebagai agama teroris itu akan sulit dihilangkan. Maka segala upaya untuk mengkampanyekan Islam rahmatan lil ‘alamin, selalu dilakukan oleh umat Islam. Ini menunjukkan bahwa Islam pro ISIS (sering disebut kaum radikal) jumlahnya tidak begitu banyak. Dan justru karena merekalah ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam) menjadi pudar. Sebab kelompok ini merasa dirinya yang paling benar dan menggap muslim lainnya itu kafir.

Dalam rangka mewujudkan kesadaran masyarakat Indonesia akan bahaya ISIS ini, maka patut kiranya dilakukan lima hal pokok. Pertama, tokoh agama Islam perlu menjelaskan dalil agama secara kontekstual. Banyak sekali masyarakat yang salah arti tentang makna jihad. Jihad hanya dimaknai sebagai perang melawan kemaksiyatan (termasuk halal membunuh orang non muslim). Nampaknya tafsir itu sudah masuk kategori tafsir sesat yang hanya memaknai agama secara tekstual. Sehingga bahaya pertama kali lahirnya ISIS selalu berpangkal pada salah tafsir ayat agama.

Kedua, agama tidak dijadikan akar fanatisme yang mengarah pada perilaku radikal. Ketika memahami ayat agama secara tekstual saja, maka sikap fanatik itu muncul dan cenderung membenarkan dirinya sendiri. Islam di luar garis mereka dianggap salah. Maka untuk mengantisipasi itu, segala gerakan kaum radikal perlu diarahkan menjadi pemahaman global dengan wawasan kebangsaan. Melatih hidup bersosial daripada hidup individual adalah lebih mulia.

Ketiga, mendewasakan seluruh masyarakat lintas agama bahwa persatuan dan kesatuan bangsa lebih utama.Pola pikir bangsa yang dibutuhkan saat ini adalah hadirnya budi pekerti yang baik. Dengan budi pekerti ini, falsafah Pancasila tentang kedewasaan bersikap dan berperilaku itu lahir. Bangsa ini sudah merdeka, namun terkadang masih dirasakan “penjajahan” oleh bangsa kita sendiri.

Keempat, menguatkan jiwa nasionalisme di tengah masyarakat dan menguatkannya kembali dalam materi ajar di sekolah. Indonesia dengan segala potensi keanekaragaman agama, ras, ideologi dan politik secara normatif rawan pecah. Namun jika semua masyarakat dewasa akan arti penting nasionalisme, maka ego kelompok akan hilang. Disinilah semua bangsa kita diuji dengan kehadiran ISIS. Ketika kita cinta Indonesia, maka ISIS menjadi musuh bagi NKRI.

Kelima, membentuk badan koordinasi bahaya ideologi masyarakat dari Pusat hingga pemangku wilayah (RT/RW) yang selalu memberikan data informasi tentang pergerakan ISIS. Dengan pola ini, maka akar ISIS di tingkat bawah pelan-pelan akan mulai hilang.

Agenda mencabut bahaya akar ISIS menjadi hal yang patut menjadi prioritas. Sebab ISIS menjadi penyakit agama dan politik untuk negeri ini. Nama Islam akan mudah negatif atas ulah oknum pendukung ISIS. Begitu pula, politik nasional akan memanas jika gelombang pengikut ISIS semakin besar.

No comments:

Post a Comment