Toleransi Beragama Dalam Perspektif Islam
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah :
Dosen
Pengampu :
Disusun
oleh :
Nur
Aliyatur Rohmah (1403036018)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Sebuah toleransi sangatlah penting sebagai alat pemersatu. Tanpa
adanya toleransi kehidupan yang penuh dengan kemajemukan ini tidak akan bisa
bersatu. Indonesia sebuah Negara dengan kemajemukan kulturnya contohnya seperti
agama. Maka sangat membutuhkan sekali toleransi-toleransi di dalamnya. Setiap
orang harus saling mengerti akan orang yang lainnya. Namun sebuah fenomena hari
ini masih banyak kekacauan yang timbul akibat tidak beresnya toleransi.
Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk
dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan
diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan
sosial bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya
kerukunan antar umat beragama. Maka disini kita akan membahas mengenai
toleransi yang harus dilakukan oleh seorang muslim.
II. RUMUSAN
MASALAH
A. Apa Pengertian Dari Toleransi?
B. Bagaimana Toleransi
Dalam Perspektif Islam?
C. Apa Saja Contoh
Toleransi Antar Agama?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Toleransi
Toleransi secara bahasa bermakna sifat atau sikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri. kata tolerasi dalam bahasa Belanda adalah
"tolerantie", dan kata kerjanya adalah "toleran". Sedangkan
dalam bahasa Inggris, adalah "toleration" dan kata kerjanya adalah
"tolerate". Toleran mengandung pengertian: ber-sikap mendiamkan.
Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa kepada sesamanya.[1]
Istilah “Tolerance” (toleransi) adalah istilah modern, baik dari
segi nama maupun kandungannya.[2] Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah
situasi dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas. Toleransi berasal
dari bahasa Latin, yaitu “tolerantia”, yang artinya kelonggaran, kelembutan
hati, keringanan dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi
merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar
menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.[3] Secara
etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa,
terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan
kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di
Perancis.[4] Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan
istilah toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka,
lapang dada, sukarela dan kelembutan.
B. Toleransi Dalam
Perspektif Islam
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam
secara definisi adalah agama yang damai, selamat dan menyerahkan diri. Definisi
Islam yang demikian seringkali dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatan
lil ‘aalamin” (agama yang mengayomi seluruh alam). Artinya, Islam selalu
menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa.
Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam beragama adalah kehendak
Allah. Dalam Islam, toleransi berlaku bagi semua orang, baik itu sesama umat
muslim maupun non-muslim. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii
al-Mujtama’ Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang meyebabkan
toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim,
yaitu :
1. Keyakinan terhadap
kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.
2. Perbedaan bahwa
manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT
yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur.
3. Seorang muslim tidak
dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang
lain. Allah sajalah yang akan menghakiminya nanti.
4. Keyakinan bahwa Allah
SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia
meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun
terhadap kafir. [5]
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka
dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa,
warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua
merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan
dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang
artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan
demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Allah dalam
menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda
termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi
Islam. Karena Allah sudah mengajarkan pada kita cara untuk menghadapi keragaman yang memang tidak bisa dipungkiri,
yaitu dengan menerima perbedaan sebagai nikmat atau rahmat. Artinya perbedaan
itu sebagai suatu berkah, karena dengan perbedaan itu, kita bisa saling dialog,
kenal mengenal, menguji argument tanpa melihat dari sisi agama, suku, warna
kulit, adat-istiadat.[6]
C. Contoh Toleransi Dalam
Islam
` Ada beberapa contoh
dalam hal apa saja kita diperbolehkan dalam hal bertoleransi antar agama,
diantaranya :
1. Toleransi Dalam Islam
Dari Pengertian
Diatas di dapatkan bahwa, Toleransi (Tasamuh) menurut islam adalah bentuk
kelonggaran, kelapangdadaan, kelembutan terhadap semua aspek sosial kecuali
terhadap Sistem dan Prinsip Nilai Islam.
2. Toleransi dalam Hal
Sosial
Dalam hal ini islam tidak melarang untuk bertoleransi. Seperti
halnya Rasullallah SAW, di jamannya islam hidup berdampingan dengan kaum
nasrani dan yahudi. Islam menjamin kehidupan mereka dengan seadil-adil tentu
tetap menggunakan dengan aturan islam karena aturan ini tidak bisa
ditoleransikan. Acuan Islam terhadap keadilan. “Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka. Dan tolong
menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikandan taqwa dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan kemaksiatan dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)
Pada saat itu islam pun sering melakukan perniagaan dengan orang
Nasrani atau yahudi. Dan hal ini seperti yang dicontohkan Nabi Saw., dalam jual
beli. Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah membeli onta dari dirinya, beliau menimbang untuknya
dan diberatkan (dilebihkan).
Dari Abu Sofwan Suwaid bin Qais Radliyallahu 'anhu dia berkata :
"Saya dan Makhramah Al-Abdi memasok (mendatangkan) pakaian/makanan dari
Hajar, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami dan belaiu
membeli sirwal (celana), sedang aku memiliki tukang timbang yang digaji, maka
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan tukang timbang tadi. Beliau
bersabda: Timbanglah dan lebihkan !"
3. Tolong menolong
sesama, menjenguk orang sakit
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran
pahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244). Dan banyak lagi.[7]
Tetapi toleransi dalam
agama Islam juga ada batas-batasannya, tidak bisa dibilang kalau semua bentuk
tenggang rasa antar umat beda agama bisa dikatakan toleransi yang
diperbolehkan, seperti halnya dalam hal hal berikut ini :
1. Kaum muslimin
dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan
keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin. Allah berfirman:“Katakanlah: wahai orang-orang
kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kalian tidak menyembah apa
yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak
menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”.
(Al-Kafirun: 1-6).
2. Memberikan ucapan
selamat kepada orang-orang kafir, seperti ucapan “Selamat Natal” dan perayaan
keagamaan lainnya, hukumnya adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama’.
Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Ahkâmu Ahli Dzimmah mengatakan:
"Mengucapkan selamat dengan syiar-syiar orang kafir yang merupakan
kekhususan mereka, hukumnya ialah haram menurut kesepakatan para ulama. Seperti
memberikan ucapan selamat kepada mereka berkaitan dengan hari raya mereka,
ibadah mereka, dengan mengucapkan “selamat berhari raya”, / yang sejenisnya.
Perbuatan seperti ini, kalaupun si pelaku selamat dari kekufuran, namun ia
telah melakukan sesuatu yg diharamkan. Perbuatan seperti ini sama dengan
mengucapkan “selamat” atas peribadatan mereka. Banyak orang yang tidak memiliki
perhatian terhadap din (agama) terseret dalam perbuatan seperti ini. Dia tidak
mengetahui kejelekan yang dilakukannya. Barang siapa memberikan ucapan selamat
berkaitan dengan perbuatan maksiat, bid’ah / kekufuran, maka ia terancam
mendapat kemurkaan Allah Azza wa Jalla.”Memberikan ucapan selamat kepada
orang-orang kafir berkaitan dengan perayaan keagamaan mereka hukumnya haram.
Seperti inilah yang disebutkan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah, karena dalam
ucapan selamat tersebut tersirat pengakuan terhadap syiar-syiar (simbol-simbol)
kekufuran, ridha terhadap kekufuran meskipun ia tidak ridha kekufuran itu untuk
dirinya. Bagi setiap muslim diharamkan menyukai kekufuran / memberikan ucapan
selamat kepada yg lain berkaitan dengan kekufuran ini, karena Allah tidak
meridhai kekufuran.Allah Azza wa Jalla berfirman: "Jika kamu kafir maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu". (az-Zumar/39: 7).
Firman Allah Azza wa Jalla.
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamamu".(al-Mâ`idah/5: 3).
Memberikan ucapan selamat kepada mereka bererkaitan dengan hal itu,
hukumnya haram, baik ia ikut merayakan maupun tidak. Jika memberikan ucapan
selamat kepada kita berkaitan dengan hari raya mereka, maka kita tidak perlu
menjawabnya. Karena itu bukan hari raya kita. Juga hari raya itu tdk diridhai
Allah Azza wa Jalla. Karena kemungkinan hari raya itu adalah bid’ah dalam agama
mereka, / mungkin pernah disyari’atkan namun telah dihapus dengan agama Islam
yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk semua manusia dan
jin.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Barang siapa mencari agama selain dari agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi". (Ali Imrân/3: 85).
Memenuhi undangan dalam perayaan ini hukumnya haram. Karena
memenuhi undangan ini lebih berat dibandingkan memberikan ucapan selamat.
(Dengan) menghadiri undangan, berarti ikut merayakan bersama mereka. Begitu
juga, seorang muslim diharamkan meniru mereka dengan mengadakan acara-acara
dalam hal perayaan ini, / saling memberi hadiah, membagi-bagi permen, makanan,
meliburkan aktifitas, / yg sejenisnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa yg menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari kaum tersebut". (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, 2/50, 92)
IV. KESIMPULAN.
Toleransi adalah sikap tenggang rasa dan lapang dada, toleransi
sendiri dalam Agama Islam sangat dianjurkan. Di Indonesia sendiri yang ada
banyak ragam Agama jika tidak adanya rasa toleransi, niscaya akan tidak bersatu
Negara ini. Tetapi dalam Islam sendiri ada beberapa hal yang boleh untuk
bertoleransi, misalnya membantu antar agama dalam hal gotong royong dan Islam
juga melarang kita untuk mengikuti semua ritual Agama jika berbeda kepercayaan.
V. PENUTUPAN
Kami selaku pemakalah meminta maaf kalau ada kata kata yang salah
baik di sengaja maupun tidak disengaja dalam makalah yang kami buat, karena ini
di bulan suci Ramadhan yang mana pintu maaf dibuka selebar-lebarnya. Terima
kasih semoga kita mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dalam makalah ini, sekian
Wassalamualaikum Wr Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf, Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami,
Qahirah : Maktabah Al-Wahbah, 1992
Bagus, Lorens, kamus
filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996
Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Jakarta : Pustaka Oasis, 2007
Rahmat, Imdadun, Islam Pribum, Jakarta : Pustaka Pelajar, 2001
Thoha, Malik, Tren Pluralisme Agama, Jakarta : Perspektif, 2005
[1] Lorens Bagus , kamus filsafat,
(Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm 207-208
[2] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Perspektif,
2005), hlm 212.
[3] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, (Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), hlm.161.
[4] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, (Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), hlm.162
[5] Yusuf al-Qardhawi, Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami,
(Qahirah : Maktabah Al-Wahbah, 1992), hlm 53-55.
[6] M. Imdadun Rahmat, Islam Pribum, (Jakarta : Pustaka Pelajar,
2001), hlm 118.
[7] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, (Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), hlm 170-171
No comments:
Post a Comment