I. PENDAHULUAN
Sebuah
toleransi sangatlah penting sebagai alat pemersatu. Tanpa adanya toleransi
kehidupan yang penuh dengan kemajemukan ini tidak akan bisa bersatu. Indonesia
sebuah Negara dengan kemajemukan kulturnya contohnya seperti agama. Maka sangat
membutuhkan sekali toleransi-toleransi di dalamnya. Setiap orang harus saling
mengerti akan orang yang lainnya. Namun sebuah fenomena hari ini masih banyak
kekacauan yang timbul akibat tidak beresnya toleransi. Toleransi yang merupakan
bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system
teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam
kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat
beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.
Maka disini kita akan membahas mengenai toleransi yang harus dilakukan oleh
seorang muslim.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian Dari Toleransi?
B. Bagaimana Toleransi Dalam Perspektif
Islam?
C. Apa Saja Contoh Toleransi Antar Agama?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Toleransi
Toleransi
secara bahasa bermakna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan
dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. kata tolerasi
dalam bahasa Belanda adalah "tolerantie", dan kata kerjanya adalah
"toleran". Sedangkan dalam bahasa Inggris, adalah "toleration"
dan kata kerjanya adalah "tolerate". Toleran mengandung pengertian:
ber-sikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa kepada
sesamanya.[1]
Istilah
“Tolerance” (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun
kandungannya.[2] Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan
kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas. Toleransi berasal dari bahasa
Latin, yaitu “tolerantia”, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati,
keringanan dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan
sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan
pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.[3] Secara etimologis,
istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa, terutama
pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan kebebasan,
persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis.[4] Ketiga
istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah toleransi.
Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela
dan kelembutan.
B. Toleransi Dalam Perspektif Islam
Secara
doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi
adalah agama yang damai, selamat dan menyerahkan diri. Definisi Islam yang
demikian seringkali dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatan lil
‘aalamin” (agama yang mengayomi seluruh alam). Artinya, Islam selalu menawarkan
dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa. Islam
menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah.
Dalam Islam, toleransi berlaku bagi semua orang, baik itu sesama umat muslim
maupun non-muslim. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii
al-Mujtama’ Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang meyebabkan
toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim,
yaitu :
1. Keyakinan terhadap kemuliaan manusia,
apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.
2. Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan
keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi
mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur.
3. Seorang muslim tidak dituntut untuk
mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang lain. Allah
sajalah yang akan menghakiminya nanti.
4. Keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan
untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang
musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun terhadap kafir. [5]
Dari
kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui
adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit,
bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah
dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran
ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Seluruh
manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia,
sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Allah dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke
dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena
Allah sudah mengajarkan pada kita cara untuk menghadapi keragaman yang memang tidak bisa dipungkiri,
yaitu dengan menerima perbedaan sebagai nikmat atau rahmat. Artinya perbedaan
itu sebagai suatu berkah, karena dengan perbedaan itu, kita bisa saling dialog,
kenal mengenal, menguji argument tanpa melihat dari sisi agama, suku, warna
kulit, adat-istiadat.[6]
C. Contoh Toleransi Dalam Islam
` Ada beberapa contoh dalam hal apa saja
kita diperbolehkan dalam hal bertoleransi antar agama, diantaranya :
1. Toleransi Dalam Islam
Dari Pengertian Diatas di dapatkan
bahwa, Toleransi (Tasamuh) menurut islam adalah bentuk kelonggaran,
kelapangdadaan, kelembutan terhadap semua aspek sosial kecuali terhadap Sistem
dan Prinsip Nilai Islam.
2. Toleransi dalam Hal Sosial
Dalam
hal ini islam tidak melarang untuk bertoleransi. Seperti halnya Rasullallah
SAW, di jamannya islam hidup berdampingan dengan kaum nasrani dan yahudi. Islam
menjamin kehidupan mereka dengan seadil-adil tentu tetap menggunakan dengan
aturan islam karena aturan ini tidak bisa ditoleransikan. Acuan Islam terhadap
keadilan. “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum karena
mereka menghalang-halangi kamu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya
kepada mereka. Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikandan taqwa
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan kemaksiatan dan pelanggaran.
Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(Al-Maidah: 2)
Pada
saat itu islam pun sering melakukan perniagaan dengan orang Nasrani atau
yahudi. Dan hal ini seperti yang dicontohkan Nabi Saw., dalam jual beli. Dari
Jabir bin Abdullah Radliyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah membeli onta dari dirinya, beliau menimbang untuknya dan diberatkan
(dilebihkan).
Dari
Abu Sofwan Suwaid bin Qais Radliyallahu 'anhu dia berkata : "Saya dan
Makhramah Al-Abdi memasok (mendatangkan) pakaian/makanan dari Hajar, lalu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami dan belaiu membeli sirwal
(celana), sedang aku memiliki tukang timbang yang digaji, maka Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan tukang timbang tadi. Beliau bersabda:
Timbanglah dan lebihkan !"
3. Tolong menolong sesama, menjenguk orang
sakit
“Menolong
orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari
no. 2363 dan Muslim no. 2244). Dan banyak lagi.[7]
Tetapi toleransi dalam agama Islam juga
ada batas-batasannya, tidak bisa dibilang kalau semua bentuk tenggang rasa
antar umat beda agama bisa dikatakan toleransi yang diperbolehkan, seperti
halnya dalam hal hal berikut ini :
1. Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan
ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir dan
musyrikin. Allah berfirman:“Katakanlah:
wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kalian
tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian
sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian
dan bagiku agamaku”. (Al-Kafirun: 1-6).
2. Memberikan ucapan selamat kepada
orang-orang kafir, seperti ucapan “Selamat Natal” dan perayaan keagamaan
lainnya, hukumnya adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama’.
Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Ahkâmu Ahli Dzimmah mengatakan:
"Mengucapkan selamat dengan syiar-syiar orang kafir yang merupakan
kekhususan mereka, hukumnya ialah haram menurut kesepakatan para ulama. Seperti
memberikan ucapan selamat kepada mereka berkaitan dengan hari raya mereka,
ibadah mereka, dengan mengucapkan “selamat berhari raya”, / yang sejenisnya.
Perbuatan seperti ini, kalaupun si pelaku selamat dari kekufuran, namun ia
telah melakukan sesuatu yg diharamkan. Perbuatan seperti ini sama dengan
mengucapkan “selamat” atas peribadatan mereka. Banyak orang yang tidak memiliki
perhatian terhadap din (agama) terseret dalam perbuatan seperti ini. Dia tidak
mengetahui kejelekan yang dilakukannya. Barang siapa memberikan ucapan selamat
berkaitan dengan perbuatan maksiat, bid’ah / kekufuran, maka ia terancam mendapat
kemurkaan Allah Azza wa Jalla.”Memberikan ucapan selamat kepada orang-orang
kafir berkaitan dengan perayaan keagamaan mereka hukumnya haram. Seperti inilah
yang disebutkan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah, karena dalam ucapan selamat
tersebut tersirat pengakuan terhadap syiar-syiar (simbol-simbol) kekufuran,
ridha terhadap kekufuran meskipun ia tidak ridha kekufuran itu untuk dirinya.
Bagi setiap muslim diharamkan menyukai kekufuran / memberikan ucapan selamat
kepada yg lain berkaitan dengan kekufuran ini, karena Allah tidak meridhai
kekufuran.Allah Azza wa Jalla berfirman: "Jika kamu kafir maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu
itu". (az-Zumar/39: 7).
Firman
Allah Azza wa Jalla.
"Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu".(al-Mâ`idah/5: 3).
Memberikan
ucapan selamat kepada mereka bererkaitan dengan hal itu, hukumnya haram, baik
ia ikut merayakan maupun tidak. Jika memberikan ucapan selamat kepada kita
berkaitan dengan hari raya mereka, maka kita tidak perlu menjawabnya. Karena
itu bukan hari raya kita. Juga hari raya itu tdk diridhai Allah Azza wa Jalla.
Karena kemungkinan hari raya itu adalah bid’ah dalam agama mereka, / mungkin
pernah disyari’atkan namun telah dihapus dengan agama Islam yang dibawa oleh
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk semua manusia dan jin.
Allah
Azza wa Jalla berfirman:
"Barang
siapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi". (Ali Imrân/3: 85).
Memenuhi
undangan dalam perayaan ini hukumnya haram. Karena memenuhi undangan ini lebih
berat dibandingkan memberikan ucapan selamat. (Dengan) menghadiri undangan,
berarti ikut merayakan bersama mereka. Begitu juga, seorang muslim diharamkan
meniru mereka dengan mengadakan acara-acara dalam hal perayaan ini, / saling
memberi hadiah, membagi-bagi permen, makanan, meliburkan aktifitas, / yg
sejenisnya.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barang
siapa yg menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum
tersebut". (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, 2/50, 92)
IV. KESIMPULAN.
Toleransi
adalah sikap tenggang rasa dan lapang dada, toleransi sendiri dalam Agama Islam
sangat dianjurkan. Di Indonesia sendiri yang ada banyak ragam Agama jika tidak
adanya rasa toleransi, niscaya akan tidak bersatu Negara ini. Tetapi dalam
Islam sendiri ada beberapa hal yang boleh untuk bertoleransi, misalnya membantu
antar agama dalam hal gotong royong dan Islam juga melarang kita untuk
mengikuti semua ritual Agama jika berbeda kepercayaan.
V. PENUTUPAN
Kami
selaku pemakalah meminta maaf kalau ada kata kata yang salah baik di sengaja
maupun tidak disengaja dalam makalah yang kami buat, karena ini di bulan suci
Ramadhan yang mana pintu maaf dibuka selebar-lebarnya. Terima kasih semoga kita
mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dalam makalah ini, sekian Wassalamualaikum
Wr Wb.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qardhawi,
Yusuf, Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami, Qahirah : Maktabah
Al-Wahbah, 1992
Bagus, Lorens, kamus filsafat, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1996
Misrawi,
Al-Qur’an Kitab Toleransi, Jakarta : Pustaka Oasis, 2007
Rahmat,
Imdadun, Islam Pribum, Jakarta : Pustaka Pelajar, 2001
Thoha,
Malik, Tren Pluralisme Agama, Jakarta : Perspektif, 2005
________________________________________
[1]
Lorens Bagus , kamus filsafat, (Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm 207-208
[2]
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Perspektif, 2005), hlm 212.
[3]
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi,
(Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), hlm.161.
[4]
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi,
(Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), hlm.162
[5]
Yusuf al-Qardhawi, Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami, (Qahirah :
Maktabah Al-Wahbah, 1992), hlm 53-55.
[6]
M. Imdadun Rahmat, Islam Pribum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm 118.
[7]
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi,
(Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), hlm 170-171
No comments:
Post a Comment